Sebagai tenaga kependidikan tentu memiliki cita-cita mulia untuk memajukan dan mencerdaskan peserta didik secara kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya. Segala upaya dilakukan untuk menyajikan pembelajaran yang disajikan tersebut dapat diserap dan diterima dengan baik. Guru bagaimanapun latar belakangnya pastilah memiliki "modal" awal berupa pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman akademik maupun pengalaman sehari-hari. Terlepas dari kemampuan akademik dasarnya, seorang guru yang memang dituntut dan dilatih untuk mengajar (menguasai materi dan menguasai kelas), pastilah memiliki ragam cara untuk membelajarkan peserta didiknya. Dari penggunaan metode, model, strategi, dan dengan memperhatikan gaya belajarnya, tujuan akhirnya yaitu agar peserta didiknya paham dan mengerti akan ilmu yang disampaikannya.
Alih-alih menyenangkan peserta didik, maka ada sebagian guru yang justru membawa kelas tidak fokus pada tujuan awalnya yaitu belajar. Di kelas ada guru yang memberikan film yang tidak berkaitan dengan materi dan diputar menggunakan LCD dan Screen di depan kelas. Ada sebagian guru yang hanya memberikan pengantar di awal pelajaran sekitar 10 menit, kemudian diminta mengerjakan soal-soal di LKS sementara gurunya bersantai di ruang guru atau malah ada yang di kantin menikmati sebat.
Bahkan, akhir-akhir ini guru-guru muda yang memiliki paras menawan cenderung membuat video di kelas, berjoged-joged ala standar aplikasi tik-tok, dan sebagainya. Memang, bagi sebagian orang bisa menginspirasi, namun tiadakah guru yang menawan tersebut justru membuat konten yang positif, yang membangun, dan tidak sekedar "pamer" kecantikan dan kemolekannya ?
Justru dengan adanya kesibukan baru guru "konten kreator" ini malah tidak fokus pada tugas pokoknya, sampai-sampai diberita ada wakil kepala sekolah bidang kurikulum lupa dan terlewat mendaftarkan siswanya ikut seleksi masuk perguruan tinggi.
Ironi memang, disaat guru dimudahkan dengan media namun terjerumus pada arus standar postingan kreatornya. Guru yang notabene memberikan pelajaran justru sibuk editing video untuk setoran postingan agar FYP.
Jika sudah begini, tentu tidak bisa disalahkan si guru tersebut karena media sosial itu milik siapa saja, hanya saja perlu ada kontrol sosial dari pihak sekolah dan instansi terkait tentang penggunaan media sosial di sekolah.
Jika postingan membawa kebaikan sekolah tentu tidak masalah, namun jika justru membawa dampak kurang baik tentu perlu adanya pembinaan.
Jadi, mau jadi guru atau konten kreator ?
Kamis, 27 Februari 2025
Guru atau Konten Kreator ?
Langganan:
Postingan (Atom)