Sobat blogger, akhir-akhir ini sesepuh dan para ulama sedang didera ujian dan cobaan yang berkaitan dengan para pemimpin negeri ini. Fitnah, hinaan, cemoohan, bahkan cibiran kerap dilontarkan oleh orang-orang yang mengaku lebih baik, lebih hebat, dan lebih memahami kebhinekaan.
Saya sebagai seorang awam politik, rakyat jelata rasanya enggan berkomentar bahkan mematikan tv yang menayangkan hal tersebut, rasanya ingin kembali ke jaman kecil saat pak kiayi sangat dihormati dan ditunggu petuah dan nasehatnya. Ah sudahlah, semoga bapak kiayi diberikan kesabaran dan tawadhu terhadap kondisi negeri ini.
Ngaji, memang sangat penting untuk mengisi relung hati yang senantiasa haus ini, banyak kisah yang bisa kita petik, banyak ilmu yang kita serap untuk memperbaiki diri....Berikut kisah sebutir nasi yang ditulis oleh romo habib Lutfi, saya kopi paste saja, semoga diperkenankan dan mencerahkan kita semua.....
Saya sebagai seorang awam politik, rakyat jelata rasanya enggan berkomentar bahkan mematikan tv yang menayangkan hal tersebut, rasanya ingin kembali ke jaman kecil saat pak kiayi sangat dihormati dan ditunggu petuah dan nasehatnya. Ah sudahlah, semoga bapak kiayi diberikan kesabaran dan tawadhu terhadap kondisi negeri ini.
Ngaji, memang sangat penting untuk mengisi relung hati yang senantiasa haus ini, banyak kisah yang bisa kita petik, banyak ilmu yang kita serap untuk memperbaiki diri....Berikut kisah sebutir nasi yang ditulis oleh romo habib Lutfi, saya kopi paste saja, semoga diperkenankan dan mencerahkan kita semua.....
Dalam perjalanan mencari ilmu, Maulana Habib Lutfi Bin Yahya-Pekalongan berjumpa dengan seorang Kiai Sepuh. Romo
Habib muda terheran-heran ketika menyaksikan akhlak kiai sepuh yang
luar biasa. Yakni, ketika dhahar (makan), ada butiran nasi yang terjatuh
lalu dipungut dan dikembalikan ke piring untuk dimakan kembali.
"Kenapa harus diambil, Yai. Kan cuma nasi sebutir," ujar Romo Habib muda penasaran.
"Lho, jangan dilihat sebutir nasinya, Yik. Apa kamu bisa bikin nasi sebutir ini, bahkan seper seribu menir saja?"
Deg, terdiamlah Romo Habib muda. Kiai sepuh melanjutkan,
"Ketahuilah, Yik. Pada saat kita makan nasi, sesungguhnya Gusti Allah
telah menyatukan banyak sekali peran. Nasi itu namanya Sego Bin Beras
Bin Gabah Al Pari. Mulai dari mencangkul, menggaru, meluku, menanam
benih, memupuk, menjaga hama hingga memanen ada jasa banyak sekali
orang. Kemudian mengolah gabah menjadi beras, dari beras menjadi nasi
juga banyak sekali peran hamba Gusti Allah di sana."
"Ketika
ada satu butir nasi, atau menir sekalipun yang jatuh, ambillah. Jangan
mentang-mentang kita masih banyak cadangan nasi. Itu bentuk dari
takabur, dan Gusti Allah tidak suka dengan manusia yang takabur. Selama
jatuh tidak kotor dan tidak membawa mudlorot bagi kesehatan kita,
ambillah, satukanlah dengan nasi lainnya, sebagai bagian dari syukur
kita".
Romo Habib muda pun menyimak lebih dalam. "Karena
itulah ketika akan makan, diajarkan doa: Allahumma bariklana (Ya Allah
semoga Engkau memberkati Kami). Bukan Allahumma barikli (Ya Allah semoga
Engkau memberkatiKU), walaupun sedang makan sendirian."
"'Lana' itu maknanya untuk semuanya, mulai petani, pedagang, pengangkut,
pemasak hingga penyaji semuanya termaktub dalam doa tersebut. Jadi doa
tersebut, merupakan ucapan syukur serta mendoakan semua orang yang
berperan dalam kehadiran nasi yang kita makan."
"Dan satu
lagi, mengapa wong makan kok ada doa: waqina ‘adzaban nar (jagalah kami
dari siksa neraka). Apa hubungan, makan kok dengan neraka? Kan gak
nyambung."
"Inggih Yai. Kok bisa ya?" tanya Habib Luthfi muda, penasaran.
"Begini, Yik. Kita makan ini hanya wasilah. Yang memberi kenyang
itu Gusti Allah. Kalau kita makan dan menganggap bahwa yang
mengenyangkan kita adalah makanan yang kita makan, maka takutlah, itu
akan menjatuhkan kita dalam kemusyrikan. Dosa terbesar bagi orang
beriman."
"Astaghfirullahal ‘adhim..." batin Romo Habib muda, tidak menyangka maknanya sedalam itu.
“Bayangkan saja, Yik. Demikian juga jika kita makan dan minum tapi
tidak dijadikan hilang rasa lapar dan terhapus dahaga kita karena tidak
dikendaki Gusti Allah, apalah jadinya?” [dutaislam/ ab]
Keterangan:
Kisah di atas diambil dari dawuh Habib Lutfi Bin Yahya-Pekalongan, 22 Januari 2017
Kisah di atas diambil dari dawuh Habib Lutfi Bin Yahya-Pekalongan, 22 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Sobat... ^_^