Minggu, 05 Februari 2017

Sebutir Nasi Adalah Tanda Syukur

Sobat blogger, akhir-akhir ini sesepuh dan para ulama sedang didera ujian dan cobaan yang berkaitan dengan para pemimpin negeri ini. Fitnah, hinaan, cemoohan, bahkan cibiran kerap dilontarkan oleh orang-orang yang mengaku lebih baik, lebih hebat, dan lebih memahami kebhinekaan.
Saya sebagai seorang awam politik, rakyat jelata rasanya enggan berkomentar bahkan mematikan tv yang menayangkan hal tersebut, rasanya ingin kembali ke jaman kecil saat pak kiayi sangat dihormati dan ditunggu petuah dan nasehatnya. Ah sudahlah, semoga bapak kiayi diberikan kesabaran dan tawadhu terhadap kondisi negeri ini.
Ngaji, memang sangat penting untuk mengisi relung hati yang senantiasa haus ini, banyak kisah yang bisa kita petik, banyak ilmu yang kita serap untuk memperbaiki diri....Berikut kisah sebutir nasi yang ditulis oleh romo habib Lutfi, saya kopi paste saja, semoga diperkenankan dan mencerahkan kita semua.....

Dalam perjalanan mencari ilmu, Maulana Habib Lutfi Bin Yahya-Pekalongan berjumpa dengan seorang Kiai Sepuh. Romo Habib muda terheran-heran ketika menyaksikan akhlak kiai sepuh yang luar biasa. Yakni, ketika dhahar (makan), ada butiran nasi yang terjatuh lalu dipungut dan dikembalikan ke piring untuk dimakan kembali.
"Kenapa harus diambil, Yai. Kan cuma nasi sebutir," ujar Romo Habib muda penasaran.
"Lho, jangan dilihat sebutir nasinya, Yik. Apa kamu bisa bikin nasi sebutir ini, bahkan seper seribu menir saja?"
Deg, terdiamlah Romo Habib muda. Kiai sepuh melanjutkan, "Ketahuilah, Yik. Pada saat kita makan nasi, sesungguhnya Gusti Allah telah menyatukan banyak sekali peran. Nasi itu namanya Sego Bin Beras Bin Gabah Al Pari. Mulai dari mencangkul, menggaru, meluku, menanam benih, memupuk, menjaga hama hingga memanen ada jasa banyak sekali orang. Kemudian mengolah gabah menjadi beras, dari beras menjadi nasi juga banyak sekali peran hamba Gusti Allah di sana."
"Ketika ada satu butir nasi, atau menir sekalipun yang jatuh, ambillah. Jangan mentang-mentang kita masih banyak cadangan nasi. Itu bentuk dari takabur, dan Gusti Allah tidak suka dengan manusia yang takabur. Selama jatuh tidak kotor dan tidak membawa mudlorot bagi kesehatan kita, ambillah, satukanlah dengan nasi lainnya, sebagai bagian dari syukur kita".
Romo Habib muda pun menyimak lebih dalam. "Karena itulah ketika akan makan, diajarkan doa: Allahumma bariklana (Ya Allah semoga Engkau memberkati Kami). Bukan Allahumma barikli (Ya Allah semoga Engkau memberkatiKU), walaupun sedang makan sendirian."
"'Lana' itu maknanya untuk semuanya, mulai petani, pedagang, pengangkut, pemasak hingga penyaji semuanya termaktub dalam doa tersebut. Jadi doa tersebut, merupakan ucapan syukur serta mendoakan semua orang yang berperan dalam kehadiran nasi yang kita makan."
"Dan satu lagi, mengapa wong makan kok ada doa: waqina ‘adzaban nar (jagalah kami dari siksa neraka). Apa hubungan, makan kok dengan neraka? Kan gak nyambung."
"Inggih Yai. Kok bisa ya?" tanya Habib Luthfi muda, penasaran.
"Begini, Yik. Kita makan ini hanya wasilah. Yang memberi kenyang itu Gusti Allah. Kalau kita makan dan menganggap bahwa yang mengenyangkan kita adalah makanan yang kita makan, maka takutlah, itu akan menjatuhkan kita dalam kemusyrikan. Dosa terbesar bagi orang beriman."
"Astaghfirullahal ‘adhim..." batin Romo Habib muda, tidak menyangka maknanya sedalam itu.
“Bayangkan saja, Yik. Demikian juga jika kita makan dan minum tapi tidak dijadikan hilang rasa lapar dan terhapus dahaga kita karena tidak dikendaki Gusti Allah, apalah jadinya?” [dutaislam/ ab]
Keterangan:
Kisah di atas diambil dari dawuh Habib Lutfi Bin Yahya-Pekalongan, 22 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Sobat... ^_^