Wah tak seperti biasanya, pagi ini semangat sekali untuk menulis,meski hanya copy dan paste, namun keinginan ini untuk mencari ilmu terus bergejolak...hehe, dan saya sharing tulisan dari Ari Kristianawati (SM,18 Oktober 2010)
PEMBERLAKUAN kurikulum tingkat satuan pendidikan dalam pendidikan di jenjang sekolah menengah, saat ini juga mendorong pemassalan penggunaan perangkat teknologi. Perangkat teknologi menjadi instrumen pendidikan yang cukup penting sebagai media pembelajaran di ruang kelas.Tidak aneh, saat ini penggunaan peranti komputer jinjing (laptop) menjadi kecenderungan dalam proses pembelajaran di kelas. Demikian beragam peranti teknologi yang lain menjadi “perkakas teknis” dalam proses pembelajaran. Termasuk, antara lain, penggunaan telepon seluler bermuatan materi pelajaran yang menjadi media komunikasi mata pelajaran antara guru dan siswa.
Akomodasi teknologi dalam pembelajaran telah menjadi lazim, meski menimbulkan konsekuensi logis peningkatan biaya pendidikan yang harus ditanggung orang tua siswa. Teknologi mempermudah internalisasi materi pembelajaran di kalangan siswa, mempermudah proses penyerapan bahan ajar dengan metode praktis.Mengkhawatirkan. Di balik kecenderungan kemudahan akomodasi teknologi atau pendidikan yang memakai perkakas teknologi, ada konsekuensi pada masa depan yang mengkhawatirkan. Konsekuensi itu adalah ketergantungan anak didik (siswa) pada produk teknologi yang mahal, sehingga memunculkan sikap anti-inovasi teknologi. Anak didik gandrung akan penggunaan teknologi untuk mempermudah mereabsorbsi bahan ajar, tetapi tak mampu keluar dari belenggu keberadaan nilai guna teknologi.
Itulah yang dinamakan budaya utilitarianisme teknologi yang fatal. Siswa tak bisa belajar tanpa peranti teknologi. Tak bisa menerapkan bahan ajar tanpa menggunakan peranti teknologi. Akhirnya anak didik dikendalikan oleh nilai fungsi dan nilai guna teknologi. Alih-alih bisa mengembangkan teknologi, anak didik benar-benar menjadi kelompok sosial pengguna teknologi.
Banyak upaya mengurangi atau memajukan kompetensi siswa dalam skema inovasi pembelajaran yang menaklukkan teknologi. Misalnya, dengan beragam kegiatan ilmiah pendidikan dan berbagai ajang pengembangan kreativitas olah teknologi. Lembaga pendidikan dan penelitian seperti LIPI, Kementerian Pendidikan Nasional, CSR perusahaan yang peduli pendidikan berupaya mengangkat skema inovasi pengembangan kreasi olah teknologi siswa.
Lomba pemrograman peranti lunak komputer, kreasi robot, inovasi elektronika, studi lingkungan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan melepaskan kultur sekadar sebagai pengguna produk teknologi di kalangan siswa. Sebab, tak sedikit siswa memiliki kecerdasan psikomotorik yang mampu menghadirkan konsep pengembangan teknologi berbasis nilai lokal.
Itu patut diapreasiasi. Meski rancang tindak lanjut dari inovasi teknologi di kalangan siswa begitu lemah, karena keminiman anggaran bagi pengembangan kreativitas teknologi di kalangan siswa dan mahasiswa. Yang menyedihkan, terjadi pembelian hak cipta kreasi olah teknologi para siswa cerdas asal Indonesia oleh berbagai pemegang hak cipta perusahaan korporat global.
Penyimpangan Ironi pula di antara mayoritas siswa yang pasif dalam inovasi teknologi kini juga terjadi penyimpangan penggunaan teknologi. Alih-alih sebagai peranti edukasi, mereka justru menggunakan teknologi sekadar sebagai sarana rekreasi. Komputer, telepon seluler, 4G, mereka gunakan untuk sekadar kegiatan hobi nonedukatif. Itu menjadi peringatan dini bagi kemenjamuran budaya kenaifan teknologi di kalangan generasi muda. Teknologi menjadi candu dan bukan model pengembangan pemikiran.
Karena itulah perlu pengembangan program edukasi teknologi dalam skema inovasi. Pertama, menjelaskan kepada anak didik tentang nilai filosofi teknologi. Teknologi ditempatkan sebagai hasil kreasi pemikiran kreatif manusia dan seharusnya selalu dikembangkan terus-menerus melalui riset dan pengembangan yang berdasar kebutuhan sosial masyarakat. Tidak justru menjadikan teknologi sebagai “berhala” kehidupan, yang membelenggu hakikat dan hasrat inovasi manusia, khususnya anak didik.
Kedua, pendidikan tentang teknologi yang memiliki signifikansi dalam meningkatkan kecerdasan psikomotorik siswa. Jadi siswa bisa memilih model penggunaan teknologi yang kontekstual dengan aktivitas pembelajaran di sekolah dan beragam jenjang pendidikan selanjutnya. Jangan sampai siswa tersandera penggunaan teknologi mahal yang justru tak membawa fungsi edukatif.
Ketiga, menyadarkan tentang peran teknologi sebagai “alat bantu” pembelajaran. Teknologi menjadi instrumen yang memacu imajinasi berpikir siswa dan bukan membuat kejumudan berpikir dan dependen di kalangan siswa dan generasi muda. Jadikan teknologi sebagai pemacu unsur pemikiran yang bisa adaptif dengan kemajuan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Sobat... ^_^